14 Februari 2025
Media sosial kini menjadi arena utama dalam percaturan politik di Asia Tenggara. Dengan meningkatnya penetrasi internet di kawasan ini, platform digital seperti Facebook, Twitter, TikTok, dan Instagram memainkan peran penting dalam membentuk opini publik, memobilisasi massa, dan bahkan memengaruhi hasil pemilu.
Namun, pengaruh media sosial dalam politik tidak sepenuhnya positif. Di balik potensinya untuk memperluas demokrasi, ada ancaman serius berupa manipulasi algoritma, penyebaran informasi palsu, dan polarisasi masyarakat.
Demokratisasi melalui Media Sosial
Media sosial telah membuka ruang baru bagi keterlibatan masyarakat dalam politik. Di negara-negara seperti Indonesia, Filipina, dan Thailand, platform ini menjadi alat yang efektif bagi para aktivis untuk menyuarakan isu-isu penting.
“Media sosial memberi akses yang luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam percakapan politik, bahkan bagi mereka yang sebelumnya sulit terjangkau oleh media tradisional,” ujar Dr. Anisa Wijaya, pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia.
Kampanye politik kini tidak lagi bergantung pada iklan televisi atau koran. Calon pemimpin menggunakan media sosial untuk membangun citra mereka, berkomunikasi langsung dengan pemilih, dan menggalang dukungan dalam waktu singkat.
Manipulasi Algoritma dan Polarisasi
Namun, kekuatan media sosial ini juga menjadi pedang bermata dua. Di balik algoritma yang dirancang untuk menyajikan konten sesuai preferensi pengguna, ada risiko manipulasi yang dapat memengaruhi opini publik.
“Algoritma media sosial sering kali memperkuat konten yang memicu emosi, seperti kemarahan atau ketakutan, yang pada akhirnya menciptakan polarisasi masyarakat,” jelas Dr. Anisa.
Fenomena ini terlihat jelas selama pemilu di Filipina dan Indonesia, di mana informasi palsu dan narasi provokatif menyebar dengan cepat. Di Filipina, misalnya, platform seperti Facebook digunakan untuk menyebarkan informasi yang mendukung kandidat tertentu, sering kali tanpa verifikasi fakta.
Penggunaan Bot dan Disinformasi
Selain manipulasi algoritma, penggunaan bot dan akun palsu juga menjadi masalah besar. Tim kampanye sering kali memanfaatkan teknologi ini untuk memperkuat pesan mereka, menyerang lawan politik, atau menciptakan kesan popularitas yang tidak nyata.
“Ini bukan hanya tentang teknologi, tetapi tentang bagaimana aktor politik memanfaatkan celah dalam regulasi untuk mendapatkan keuntungan,” ujar Zulkifli Hasan, peneliti media digital.
Di Malaysia, misalnya, sejumlah akun palsu terungkap aktif mempromosikan agenda tertentu menjelang pemilu. Sementara itu, di Myanmar, media sosial telah digunakan untuk menyebarkan narasi kebencian yang memicu ketegangan etnis.
Tantangan Regulasi dan Pendidikan Digital
Regulasi media sosial menjadi tantangan utama bagi negara-negara di Asia Tenggara. Kebijakan yang ada sering kali tertinggal dari perkembangan teknologi, sehingga sulit untuk menangani penyalahgunaan platform ini.
“Diperlukan regulasi yang lebih ketat, tetapi tetap menghormati kebebasan berekspresi. Ini adalah keseimbangan yang sulit, tetapi sangat penting untuk melindungi demokrasi,” kata Zulkifli.
Selain itu, pendidikan literasi digital menjadi kunci untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya disinformasi. Masyarakat harus diajarkan cara memverifikasi informasi dan memahami bagaimana algoritma bekerja.
Kesimpulan
Media sosial memiliki potensi besar untuk mendukung demokrasi di Asia Tenggara, tetapi juga membawa risiko manipulasi yang dapat merusak tatanan politik. Tantangan ini membutuhkan pendekatan multidimensi, termasuk regulasi yang efektif, pendidikan digital, dan partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga ekosistem informasi yang sehat.
Dengan langkah-langkah yang tepat, media sosial dapat terus menjadi alat yang memperkuat demokrasi di Asia Tenggara, bukan sebaliknya.